Jumat, 25 September 2009

kamus bahasa arab

أَيَّامُ الأُسْبُوعِ
Hari- hari Dalam Seminggu

أُسْبُوعٌ Pekan/ Minggu

السَّـبْتُ Sabtu الأَرْبِعَاءُ rabu
الأَحَدُ Ahad الخَمِيْسُ kamis
الاِثْنَيْنِ Senin الجُمْعَةُ Jumát
الثُّلاَثَاءُ Selasa

Senin, 21 September 2009

BAHAYA BANYAK BICARA

Banyak bicara merupakan sikap berlebihan yang paling banyak terjadi dan paling besar pengaruhnya. Tidak ada yang selamat dari sikap ini kecuali hanya sedikit.
Pertama: Dalil-dalil yang menganjurkan untukmenjaga lisan dari banyak bicara.
Allah berfirman: " Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Pengawas yang selalu hadir." (Qaaf: 18)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Ibnu Abbas berkata, Malaikat tersebut mencatat setiap perkataan hamba, yang baik maupun yang buruk hingga mereka menulis perkataan; saya berkata, saya minum, saya pergi, saya datang, dan saya melihat.”
Ibnu Katsir juga berkata: “Disebutkan bahwa Imam Ahmad mengeluh ketika sakit. Kemudian ia mendengar Thawus berkata, Malaikat mencatat segala sesuatu hingga suara keluhan. Imam Ahmad pun tidak pernah mengeluh lagi hingga meninggal dunia, semoga Allah merahmatinya.”[1]
Demi Allah, jika Imam Ahmad tidak mau mengeluh padahal rasa sakit mendorongnya untuk mengeluh, mengapa kita tidak menahan diri perkataan-perkataan yang tidak ada dorongan untuk mengucapkannya kecuali ingin bercanda dan melucu.
Allah juga berfirman: 114. "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia."(an-Nisaa’: 114).
Syekh as-Sa’di Rahimahullah berkata: “Maksudnya tidak ada kebaikan dalam pembicaraan dan perbincangan yang banyak dilakukan manusia. Hal itu kemungkinan karena pembicaraan tersebut tidak ada manfaatnya, seperti berlebihan dalam membicarakan yang mubah. Bisa juga karena pembicaraan tersebut benar-benar jelek dan menimbulkan madharat, seperti pembicaraan yang diharamkan dengan semua bentuknya.[2]
Dari Abu Hurairah RA bahwa rasulullah bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata yang baik atau diam.”[3]
Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: “Hadits ini termasuk jawami’ al kalim (perkataan ringkas tapi mengandung makna yang luas penerj.), karena perkataan itu kalau tidak baik pasti jelek atau bermuara kepada salah satunya. Yang termasuk perkataan yang baik, segala perkataan yang dianjurkan dalam syariat baik yang wajib maupun sunnah, sehingga perkataan jenis ini dengan segala bentuknya diperbolehkan. Begitu pula semua perkataan yang mengarah kepadanya. Selain hal itu, berupa perkataan yang buruk dan segala perkataan yang mengarah kepada keburukan, seseoarang diperintahkan untuk diam ketika hendak mengatakannya.[4]
An Nawawi Rahimahullah berkata: “Apabila salah seorang diantara kalian hendak berbicara dan pembicaraan tersebut benar-benar baik dan berpahala, baik membicarakan perkara yang wajib maupun sunnah silakan ia mengatakkannya. Jika belum jelas baginya, apakah perkataan tersebut baik dan berpahala atau perkataan itu tampak samar baginya antara haram, makruh dan mubah, hendaknya ia tidak mengucapkannya. Berdasarkan hal ini, sesungguhnya perkataan yang mubah dianjurkan untuk ditinggalkan dan disunnahkan menahan diri untuk tidak mengatakannya, karena khawatir akan terjerumus ke dalam perkataan yang haram dan makruh, dan inilah yang sering terjadi.”[5]
Diriwayatkan, bahwa Tsa’labah berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku di akhirat nanti adalah orang yang paling jelek akhlaknya, orang yang banyak bicara, orang yang berbicara dengan mulut yang dibuat-buat dan orang yang sombong...” [6]
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang sangat penyayang dan pengasih mengkhawatirkan umatnya terkena bahaya lidah, dan beliau memperingartkan mereka akan hal tersebut. Suatu kali Sufyan bin Abdillah at-Tsaqafi Radhiyallahu 'anhu bertanya kepada rasullullah Shallallahu 'alaihi wasallam dengan berkata: “Wahai rasulullah, beritahukan kepadaku sesuatu yang dapat aku jadikan sebagai pegangan hidupku! Beliau berkata: “Katakanlah, Tuhanku adalah Allah kemudian beristiqamahlah!” Aku berkata lagi, Wahai rasulullah apa yang paling engkau takutkan terhadap diriku? Beliau mengeluarkan lidahnya kemudian berkata, Ini.”[7]
Nabi Shallallahu 'alai wasallam yang tidak berkata sesuai hawa nafsunya memohon kepada Tuhannya dan berdo’a kepadanya agar tidak berkata kecuali dengan benar. Diriwayatkan, bawha Ibnu Abbas Radhiyallu 'anu berkata: “Nabi Shallallahu 'alai wasallam berdo’a.” Ibnu Abbas menyebutkan lafazh do’a beliau hingga ucapannya: “Ya Allah terimalah taubatku, terimalah do’aku, kuatkanlah hujjahku, tunjukilah hatiku, jagalah lisanku dan hilangkan rasa dengki dari hatiku.”[8]
Dalam Aunul Ma’bud, sang pengarang berkata: “Sadidid lisani, maksudnya ialah luruskan dan benarkan lisanku sehingga tidak berucap kecuali dengan jujur dan tidak berkata kecuali yang benar.”[9]
Pembaca yang dilindungi Allah, perhatikanlah hadits berikut! Perhatikanlah pintu-pintu kebaikan paling agung yang ditunjukkan oleh rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam secara satu persatu pada hadits berikut ini. Setelah itu beliau menyebutkan pokok dan inti pintu kebaikan tersebut. Kemudian pada akhir hadits, beliau (yang sangat tulus dalam menasihati umatnya) menjelaskan satu perkara yang memudahkan seorang muslim untuk memasuki semua pintu-pintu kebaikan itu dan mendapatkan kemenangan berupa pahala dan ganjaran yang besar.
Diriwayatkan, Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu berkata: “Aku sering bersama nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dalam perjalanan. Suatu hari ketika kami sedang dalam perjalanan, aku berjalan berdekatan dengan rasulullah. Aku berkata kepadanya: “Wahai rasulullah, beritahukan kepadaku tentang suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka! Beliau menjawab: “Kamu telah menanyakan perkara yang besar. Sesungguhnya ia sangat mudah bagi orang yang diberi kemudahan oleh Allah. Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, puasalah d ibulan Ramadhan dan tunaikan haji!" Kemudian beliau berkata, "Maukah kamu aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa itu perisai, shadaqah itu akan menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api, shalatnya seseorang pada tengah malam, beliau membaca ayat (yang artinya), “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (as-Sajdah 16) hingga firman Allah (yang artinya), “sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (as-Sajdah 17). Beliau melanjutkan sabdanya: “Maukah kamu aku tunjukkan pokok dan inti perkara (agama ini)? Ia adalah Jihad.” Rasulullah bersabda lagi: “Maukah kamu aku tunjukkan perkara yang dapat mempermudah kamu untuk melakukan itu semua?” aku menjawab: “Ya.” Beliau mengeluarkan lidahnya lalu berkata: “Jagalah ini!” Aku berkata: “Wahai Nabi Allah! Apakah kami akan di siksa karena apa yang kami bicarakan?” Beliau menjawab:
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ, وَهَلْ يُكِبُّ النَّاسَ عَلَى وُجُوْهِهِمْ فِي النَّارِ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Celakalah engkau wahai Mu’adz! Tidak ada yang melemparkan manusai ke neraka kecuali hasil yang dipetik dari lidah mereka.”[10]
Umar Radhiyallahu 'anhu berkata: “Semoga Allah merahmati orang yang menahan diri dari banyak berbicara dan lebih mengutamakan banyak beramal.”[11]
Jika kita mau memperhatikan keadaan kita sekarang ini, niscaya kita dapati yang sebaliknya kecuali orang yang dirahmati Allah.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata: “”Jauhilah oleh kalian berlebihan dalam berbicara, cukup bagi seseorang umtuk berbicara seperlunya.”[12]
Beliau berkata kepada anaknya: “Wahai anakku, berleluasalah di rumahmu dan jagalah lisanmu serta menangislah mengingat dosamu!”[13]
Beliau juga berkata: “Demi Allah, Dzat yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia! Tidak sesuatu pun di dunia ini yang lebih berhak untuk ditahan dalam waktu yang lama daripada lidah.[14]
Abu Darda’ Radhiyallahu 'anhu berkata: “Lebih berlaku adillah terhadap telingamu dari pada lidahmu! Karena tidaklah diciptakan telinga itu dua kecuali agar kamu lebih banyak mendengar dari pada berbicara.”[15]
Malik bin Anas mencela orang yang banyak bicara dengan mengatakan: “(Banyak berbicara) hanyalah kebiasaan wanita dan orang lemah.”[16] Perhatikanlah!
Atha’ berkata: “Orang-orang salaf membenci sikap berlebihan dalam berbicara. Mereka menganggap selain membaca al-Qur’an, beramar ma’ruf nahi munkar, atau berbicara tentang kehidupan yang harus dibicarakan sebagai sikap berlebihan dalam berbicara.”[17]
Al-Qaim bin Muhammad Rahimahullah berkata: “Aku telah bertemu dengan orang-orang yang tidak suka bicara tetapi mereka suka beramal.”[18]
Orang-orang bijak mengatakan: “Apabila akal seseorang telah sempurna maka akan berkurang bicaranya.”[19] Hal ini menunjukkan bahwa jika seseorang berbicara melampaui batas maka akalnya akan berkurang.
Sufyan ats-Atsauri Rahimahullah berkata: “Ibadah yang pertama kali adalah diam, kemudian menuntut ilmu, mengamalkan, menghafal dan menyampaikannya.”[20] Hayatilah hal ini, wahai saudaraku penuntut ilmu agar tercapai cita-citamu!
Abu Hatim Muhammad bin Hibban Rahimahullah berkata: “Yang harus dilakukan bagi orang yang berakal adalah diam sampai ada hal yang harus dibicarakan. Betapa banyak orang yang menyesal ketika berbicara, dan betapa sedikit orang yang menyesal ketika diam. Orang yang paling lama kesedihannya dan orang yang paling besar ujiannya, adalah orang yang diuji dengan lisan yang banyak bicara dan kurang bermanfaat.”[21]
Jika engkau menyukai sikap diam,
Sesungguhnya orang-orang mulia sebelum kamu telah menyukainya.
Jika kamu menyesal satu kali karena diam
Sesungguhnya kamu akan menyesal berulangkali karena berbicara[22]
Abu Hatim bin Hibban Rahimahullah berkata: “Diantara kesalahan paling besar yang dapat merusak kesehatan jiwa dan merusak kebagusan hati, adalah banyak bicara walaupun perkataaan tersebut boleh dibicarakan. Seseorang tidak akan bisa memiliki sifat diam kecuali dengan meninggalkan perkataan yang boleh untuk dibicarakan. [23]
Abu adz-Dziyal berkata Rahimahullah berkata: “Belajarlah diam sebagaimana kamu belajar berbicara! Jika bicara itu memberikan petunjuk kepadamu sesungguhnya diam itu menjaga dirimu. Dalam diam kamu mendapatkan dua hal, yaitu dengan diam kamu dapat mengambil ilmu dari orang yang lebih tahu dari pada kamu, dan dengan diam kamu dapat menolak kebodohan orang yang lebih bodoh daripada kamu.”[24]
Orang diam itu tidak tercela
Tidak ada orang yang banyak bicara kecuali akan terpeleset
Dan tidak akan dicela orang yang diam.
Jika berbicara itu adalah perak
Maka diam adalah emas yang dihiasi dengan mutiara.[25]
Bersambung....
[1] Tafsir Ibnu Katsir 4/225.
[2] Tafsir as-Sa’di hal. 165
[3] HR. Al-Bukhari dalam al-Adab hadits (6018) dan Muslim hadits (47).
[4] Fath al-Bari 12/60.
[5] Syarh an-Nawawi untuk Shahih Muslim 2/209.
[6] Shahih al-Jami’ash-Shaghir no. 1531.
[7] HR at-Tirmidzi dalam az-Zuhd hadits (2410) dan Ahmad 3/413.
[8] HR Abu Dawud dalam ash-Shalah hadits (1510) dan Ahmad 1/227.
[9] Aun al-Ma’bud 3/264.
[10] HR. Ibnu Majah dalam al-Fitan hadits (3973) dengan lafazzh beliau, dan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam al-Iman hadits (2616)
[11] ‘Uyun al-Akhbar, Ibnu Taimiyyah 1/380.
[12] Jami’ al - ‘Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rajab al-Hambali hal 134.
[13] Az-Zuhd, Imam Ahmad hal. 134.
[14] Az-Zuhd, Imam Ahmad hal. 227
[15] Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi.
[16] Al-Adab Asy-Syar’iyyah , Ibnu Muflih 1/66.
[17] Al-Adab Asy-Syar’iyyah , Ibnu Muflih 1/62.
[18] Bahjat al Mujalis, Ibnu Abd al-Barr 2/343.
[19] Bahjat al Mujalis, Ibnu Abd al-Barr 1/87.
[20] Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat l-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 43.
[21] Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat l-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 43.
[22] Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat al-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 43
[23] Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat al-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 48
[24] Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, Ibnu Abd al-Barr 167.
[25] Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat al-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 48

Sabtu, 19 September 2009

keutamaan mengikuti sunnah

MENGIKUTI SUNNAH MENGANGKAT KEHINAAN DAN KERENDAHAN DARI UMAT INI

Mengikuti sunnah mengangkat kehinaan dari umat , karena sunnah adalah agama dan meniggalkan itu penyebab kehinaan dan kerendahan.
Ahmad dalam Musnadnya, Abu Dawud dalam sunannya telah meriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau berkata: “Aku mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “JIka kalian berjual beli dengan cara ‘inah, memegang ekor sapi, senang dengan bercocok tanam dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menghinakan kalian dan Allah tidak akan mencabut kehinaan itu sehingga kalian kembali kepada agama.” Kembali kepada sunnah adalah kembali kepada agama.
Dalam hadits Jubril yang panjang, dimana hadits tersebut merupakan induk sunnah rasululllah, setelah menyebutkan rukun iman, rukun Islam dan Ihsan, beliau bersabda: “Ini adalah Jibril, dating kepada kalian untuk mengajarkan perkara-perkara agama kalian. “
Rasululllah mengabarkan suatu perkara yang akan terjadi dikemudian hari dan memberitahukan akibat perkara tersebut, agar umatnya terhindar darinya. Dalam hadits diatas beliau bersabada: “Apabila kalian berjual beli dengan cara ‘Inah.” I’Inahadalah salah satu bentuk jual beli, yaitu menjual barang tetapi barang tersebut masih menetap pada penjualnya dengan cara si penjual membeli lagi kepada orang yang telah membelinya. Contohnya, seseroang yang buth uang datang kepada orang yang memiliki mobil. Orang tersebut berkata kepada pemilik mobil: “Juallah mobil ini kepada saya dengan harga dua puluh ribu dengan kredit.” Pemilik mobil menjualnya seharga duapuluh ribu. Sang pemilik mobil tahu bahwa orang tersebut pada hakikatnya tidak menginginkan mobil tetapi membutuhkan uang. Pemilik mobilpun berkata kepadanya: “Saya beli lagi mobilnya seharga lima belas ribu kontan.” Hakikatnya orang tadi, mengambil uang dua puluh ribu secaara kontan tetapi ia harus membayar duapuluh ribu dikemudian hari. Bukankah seperti itu yang terjadi. Inilah yang dimaksud dengan jula beli ‘inah. Dinamakan ‘inah karena barang yang dijual tidak berpindah dari pemiliknya.
Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli ‘inah ini sebagai pembendung tersebarnya bentuk jual-beli yang terlarang, karena yang terdapat dalam sistem transaksi dan jual beli kita adalah jual beli dan riba. Terlarangnya jual beli yang diharamkan adalah adanya riba di dalamnya, termasuk diantaranya jual beli dengan cara ‘inah.
SAbda beliau: “Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah dan mengikuti ekor ekor sapi.” Dahulu dan sampi sekaran, di sebagian negara alat pembajak tanah di tarik dengan sapi betina atau jantan. Petani berjalan di belakang sapi tersebut dengan memegang alat pembajak dan menancapkannya ke tanah, sehingga tanah dapat terbalik. Dalam hadits ini rasulullah mengkiaskan kecenderungan hati kepada dunia dan apa yang ada di bumi ini dengan mengikuti ekor sapi, yakni mencocok tanam, mencintai harta dan mecintai dunia, sehingga sibuk dengan dunia dan meninggalkan jihad.
Sabda beliau “Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah, mengikuti ekor ekor sapid an meninggalkan jihad.” mengandung tiga perkara:
1- Jika kalian berjual beli dengan ‘Inah. Kami katakan, ini adalah larangan untuk semua jenis jual beli yang diharamkan.
2- Mengikuti ekor sapi, maknanya adalah mencintai dunia.
3- Meninggalkan jihad.
Apa akibat dari ketiga perkara ini jika kita mendapatkannya di suatu masyarakat? Yang akan kita dapatkan adalah “Allah akan memberikan kehinaan kepada kalian, dan Allah tidak akan mengangkatnya kecuali jika kalian kembali kepada agama.”
Kembali ke as sunnah adalah kembali kepada agama dan kembali ke agama adalah penyebab diangkatnya kehinaan dari diri kita. Jadi mengikuti sunnah adalah sebab diangkatnya kehinaan dari umat Islam.
Mengikuti sunnah rasulullah dan menjadikannya sebagai landasan hidup serta berusaha kersa untuk selalu berpegang teguh dengan apa yang telah diajarkan oelh rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebab diangkatnya kehinaan dari kaum muslimin. Ini adalah salah satu dari keutamaan mengikuti sunnah yang dikhabarkan oleh rasulullah dalam hadits ini.
Dalam hadits Jibril yang panjang, rasulullah menyebutkan rukun Iman, Islam dan Ihsan, kemudian berkata: “Dia adalah Jibril, datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.“ Dari sini dapat diketahui bahwa kehinaan itu tidak diangkat kecuali dengan kembali kepada agama, dan agama adalah mengetahui rukun iman, islam dan ihsan, bukankah demikian?
Barang siapa yang ingin kembali kepada agama maka ia harus mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan tiga perkara yang disebutkan dalam hadits jibril. Dengan hal ini, pantaskah para ulama’ hadits yang sibuk megajar manusia tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan thaharah, shaum, zakat, perkara-perkara yang berkaitan dengan keimanan, iman kepada Allah, malaikat, dan kitab-kitab Allah, dan mereka meninggalkan perbincangan tentang perkara yang tidak ada manfaatnya itu dicela?
Dengan hal ini, pantaskan para ulama hadits yang membicarakan hukum-hukum di atas dalam rangka mengajarkan kepada manusia tentang agama mereka itu dicela dengan mengatakan, kalian hanyalah ulama’ haid dan nifas, bukan ulama’ yang menguasai kejadian terkini dan bukan pula ulama’ da’wah?
Pantaskah celaan ini ditujukan kepada ulama’ yang mengajarkan kepada manusia hukum-hukum di atas, mengajarkan agama, mengajarkan jalan keluar dari kehinaan, mengajarkan jalan yang telah ditunjukkah oleh rasulullah,ketika mereka menginginkan keselamatan diakhirat.
Apakah orang yang tidak mau mempelajari perkara-perkara agamanya, lalu megambil perkataan orang-orang sekuler, komunis dan negara-negara besar lainnya, ia tidak mau mempelajari apa yang dibutuhkan dirinya dari perkara-perkara agama, lalu ia mengajarkan kepada manusia perkataaan-perkataan tersebut, adalah orang yang mengajarkan agama? Apakah ini yang dinamakan kembali kepada agama sebagaimana yang dikehendaki rasulullah dalam sabdanya, Sehigga kalian kembali kepada agama, dan sebagaimana yang dikehendaki beliau dalam hadits Jibril yang mana di dalamnya beliau menyebutkan rukun iman , rukun Islam dan ihsan, setelah itu beliau bersabda: “Ia adalajh jibril, datang kepada kalian untuk mengajarkan agam kepada kalian.”
Mungkinkah kita mempelajari agama tanpa mempelajari bagaimana kita shalat? Mungkinkah kita mempelajari agama tanpa mempelajari thaharah (bersuci), dimana thaharah adalah kuncinya shalat? Mungkinkah kita mempelajari agama tanpa mengajarkan istri dan anak-anak peremppuan kita permasalahn haid dan nifas, padahal perkara ini selalu mereka temui? Mungkinkah kita belajar agama tanpa tanpa melakukan perkara-perkara itu semua?
Mungkinkah kita belajar agama sedangkan kita tidak mengetahui cara beribadah kepada Allah yang menyebutkan: “Aku shalat sebagaimana shalatnya rasulullah, aku haji seperti hajinya rasulullah, aku berpuasa sebagaimana puasanya rasulullah. Apakah dengan cara ini kita akan mengetahui agama?
Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa diantara keutamaan mengikuti as sunnah adalah mengangkat kerendahan dan kehianaan dari kaum muslimin.
Wahai saudaraku! Hiduplah dengan penuh kesengguhan, ikutalah sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bersemanagatlah dalam beribadah kepada Allah! Yakinlah, jika anda hidup di atas jalan ini maka anda akan menjadi orang yang shalih dan menshalihkan keluarga anda. Karena keshalihan diri akan mengakibatkan keshalihan keluarga. Keshalihan keluarga menumbuhkan keshalihan masyarakat. Keshalihan masyarakat akan mengakibatkan keshalihan kota, keshalihan kota akan menshalihkan Negara dan keshalihan Negara akan menjadikan shalihnya keidupan umat.
Kehslihan umat insya Allah akan menciptkan keshalilhan semua kehidupan yang ada di dunia ini. Bersungguh-sungguhlah dan mulailah dari diri anda sendiri kemudian orang yang ada di sekitar anda.